Opini

Memberi Atensi terhadap Kasus Kematian Brigadir J

Oleh Frans M (Advokat Senior)

 

Ketika ketidakadilan terjadi di depan mata perlawanan pun menjadi kewajiban
pun hanya dalam hati.

Sebagai warga masyarakat yang berprofesi advokat, aneh bila saya selalu tertarik mengamati dan memberi atensi terhadap kasus hukum.

Apalagi untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik secara nasional, seperti kasus kematian Brigadir J (08/07-2022l) di Duren Tiga, Jakarta.

Atensi thd suatu kasus hukum dapat dilakukan dengan cara ikut serta mengawal perkembangan kasus melalui jejaring sosial bersama teman-teman seide atau bisa juga dengan mengekpresikan pikiran, pendapat dan perasaan melalui media sosial.

Mengekpresikan kebebasan berpendapat melalui media sosial yang perlu disesuaikan dan agar tidak melanggar rambu-rambu hukum, terutama tidak terjerat dengan UU ITE.

Pengetahuan saya terhadap kasus Duren Tiga berawal ketika kepolisian menyampaikan rilis pertama kali pada hari Senin, 11 Juli 2022, tiga hari setelah kematian Brigadir J.

Rilis ini terasa janggal. Pun penjelasannya. Akal sehat publik curiga. Saya pun demikian.

Dari berbagai penelusuran baik informasi di berbagai media terpercaya, jejaring sosial maupun “japri” serta akses lainnya, saya tiba pada kesimpulan ada sesuatu yang ditutup.

Kesimpulan tersebut saya ekspresikan melalui template Facebook (18/07) untuk menyindir pihak tertentu, “Berbohong atau menyembunyikan sesuatu, apa bedanya ?”

Lalu, diskusikan dengan pepatah Belanda sebagai pesan moral untuk penyelidik agar berjalan lurus saja sesuai kenyataan yang sebenarnya.

“Al is de leugen nog zo smel, de waarheid achterwalt haar wel” yang artinya “sekencang-kencangnya kebohongan berlari, kebenaran akan selalu dapat mengejar dan mendahuluinya”.

Ekspresi lain, saat bangun subuh (20/07-2022) saya tulis singkat dalam template, “Otopsi Ulanglah, Supaya Lebih Terang”

Dalam pemikiran saya, tak ada jalan lain untuk membuat lebih terang kematian brigadir J selain otopsi ulang untuk “melengkapi” hasil otopsi pertama.
Sebab, dengan otopsi ulang secara lengkap, “meski pun mayat tidak bisa lagi membela diri, tapi ia bisa bercerita tentang penyebab kematiannya dan apa yang dirasakannya”.

Tak disangka, keesokan harinya (21/07-2022), saya membaca berita di berbagai media bahwa otopsi ulang disetujui Polri. Tentu, bagi saya pribadi, berita itu sangat menyenangkan hati.

Kegalauan hati terhadap penyelidikan yang terkesan “muter-mutar dan jalan di tempat”, juga saya ungkapkan di media sosial “sudah dua kali dikuburkan, namun belum ada tersangka”.

Tak hanya itu, karena menaruh kecurigaan adanya persekongkolan untuk membuat “gelap” peristiwa kematian Brigade J, saya pun ekpresikan dgn membuat sindiran terhadap penyelidik : The Obstruction of Justice (23/07).

Ternyata kemudian, kecurigaan persekongkolan tersebut terbukti benar. Bahkan lebih “besar” dari dugaan saya sebelumnya.

Menurut Mabes Polri, kesulitan penyelidikan disebabkan tindakan unprofesional yang melibatkan 25 (dua puluh lima) personil.

Antar lain, tindakan menyembunyikan atau pun menghilangkan barang bukti, menghapus jejak di TKP. Bahkan empat orang diantaranya sudah ditahan di tempat khusus.

Selain itu, atensi terhadap kasus Duren Tiga pun saya wujudkan dengan menulis opini dalam 3 (tiga) artikel pendek dengan judul : Advokat sebagai Penegak Hukum (24/07), Menuduh Mayat sebagai Terduga Pelaku Kejahatan (26/07), Penyelidikan dan Penyidikan Kematian Brigadir J (03/08).

Artikel pendek “Penyelidikan dan Penyidikan Kematian Btigadir J”, saya tulis saat bangun Rabu subuh (03/08). Perasaan “uring2an” dan kesal karena lambatnya penetapan tersangka.

Dlm artikel tsb, saya memberi pendapat sambil menunggu hasil otopsi ulang, agar ditetapkan tersangka.

Tetapi penyelidikan kematian Brigadir J tidak hanya sekedar menetapkan pelaku penembakan sebagai tersangka namun juga harus bisa menjawab pertanyaan publik apakah ada orang2 lain yang turut serta sebagai pelaku kejahatan (deelneming vorm).

Bahkan menunjukkan contoh kasus penembakan Nazaruddin, dimana MA telah memutuskan bahwa AA mantan ketua KPK dinyatakan bersalah turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dlm kwalifikasi sebagai Penganjur (uitlokken).

Tak disangka, keesokan harinya, kamis malam (04/08) Mabes Polri mengumumkan Bharada E ditetapkan sebagai tersangka pasal 338 KUHP jo 55 dan 56 KUHP. Ini berarti, Bharada E diduga bukan pelaku tunggal dan tidak tertutup akan ada calon tersangka lain.

Indikasinya, sebab penyidik mencantumkan pasal 55 dan 55 KUHP dalam sangkaan terhadap Bharada E. Ada rasa lega, meskipun blm optimal.

Peran serta dan partisipasi masyarakat mengawasi kinerja Polri, menyampaikan kritik maupun sindiran itu dapat dimaknai sebagai kebencian terhadap Polri tetapi justru merupakan wujud kecintaan dan ekspektase tinggi masyarakat yang mendambakan Polri yang Presisi yaitu polisi yang Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan mampu memberikan pelayanan yang lebih terintegrasi, modern, mudah dan cepat. Hal ini sejalan dengan harapan masyarakat terhaadap keberadaan POLRI :

Melindungi dan Melayani!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *