PENANDA AWAL RUNTUHNYA DEMOKRASI
Fransiscus Manurung (praktisi hukum)
Putusan MK soal batas minimal usia, yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden, berbuntut panjang.
Sejumlah pihak melaporkan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ke Dewan Etik MK yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Akibatnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman beserta hakim konstitusi lainnya akan diperiksa oleh MKMK dan terancam sanksi apabila terbukti melanggar Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Sanksi terberat adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
Persyaratan menjadi Hakim Konstitusi, tidaklah mudah. Selain harus berpendidikan doktor (strata 3) dengan pengalaman bekerja di bidang hukum minimal 15 tahun dan berusia minimal 55 tahun, juga harus memenuhi kriteria konstitusional menurut pasal 24C ayat (5) UUD 1945, yaitu:
“Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Menjadi Hakim Konstitusi tidak cukup hanya sekedar ahli hukum saja tetapi juga harus memenuhi kriteria negarawan (statesman).
Dengan kata lain, Hakim Konstitusi adalah jabatan yang menjalankan wewenang MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, maka profil Hakim Konstitusi mestilah seorang ahli hukum yang negarawan atau pun negarawan yang ahli hukum.
Dari sisi gramatical, negarawan adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian penyelenggaraan negara, pengalaman yang cukup, serta komitmen tinggi untuk mengawal kehidupan bernegara sesuai dengan koridor konstitusi.
Negarawan juga dapat diartikan sebagai sosok yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan masyarakat, mampu berlaku egaliter serta adil dan mengayomi semua komponen bangsa.
Persyaratan yang begitu tinggi dan berat untuk menjadi Hakim Konstitusi tsb dibuat sedemikian rupa karena MK memiliki posisi dan peran yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai penjaga dan penafsir akhir konstitusi yang berwenang menangani perkara level tinggi di bidang ketatanegaraan.
Di Indonesia, Hakim Konstitusi hanya berjumlah sembilan orang. Merekalah benteng pengawal dan penafsir konstitusi. Merekalah pula benteng demokrasi dan penjaga nilai-nilai hak asasi manusia.
Putusan Hakim Konstitusi memiliki nilai strategis konstitusional yang mengubah tafsir sesuai undang-undang dan bersifat final dan mengikat. Berlaku secara sah dan mengikat pada semua orang dan semua lembaga setelah diucapkan.
Putusan yang sudah diucapkan harus dilaksanakan, tidak bisa dilawan dan tidak bisa pula dikoreksi. Putusannya pasti benar, tak bisa salah. Jika ternyata salah pun, harus selalu dianggap benar dan wajib dipatuhi.
Hakim Konstitusi, ibarat sembilan dewa hukum yang eksistensinya tercermin dalam wujud sembilan pilar besar pada bagian depan gedung MK.
Agar perilaku sembilan dewa hukum tersebut, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menangani perkara konstitusi, MK menerbitkan Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang disebut Sapta Karsa Hutama. (PERMA No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi)
Sapta Karsa Hutama memuat tujuh prinsip yang menjadi mahkota bagi Hakim Konstitusi yaitu (i) Independensi, (ii) Imparsialitas, (iii) Integritas (iv) Kepantasan dan Kesopanan, (v) Kesetaraan (vi) Kecakapan dan Keseksamaan, dan terakhir (vii) Kearifan Kebijaksanaan.
Proses pemeriksaan terhadap terlapor Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi, cs baru dimulai.
Terlepas dari apa pun kelak hasilnya, – termasuk jika seandainya dugaan terbukti – putusan MKMK tsb tidak dapat menganulir, bahkan tidak berpengaruh apapun terhadap putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuning.
Sebab, putusan MK tersebut sudah final dan telah dilaksanakan kemarin, (Rabu, 25/10) ketika pasangan PS – GR diterima di KPU.
Namun, hiruk pikuk pasca putusan MK, tudingan miring terhadap MK, munculnya laporan pengaduan dari masyarakat, julukan Mahkamah Keluarga, pembentukan MKMK dan proses pemeriksaan thd terlapor Ketua MK, cs sebagai prahara besar yang menjadi penanda awal runtuhnya demokrasi konstitusional.
Dan itu, sangat menyedihkan… menyedihkan sekali. 😢😥 Bahkan memalukan sekali….
Sembilan jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah para pengawal konstitusi yang gagah.
Sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah,
bukan penjagal konstitusi yang membuat rakyat marah. (Prof. Laica Marzuki – Hakim Konstitusi).***