GUGATAN PENGUJIAN PSI AKAN DITOLAK ?
Oleh Fransiscus Manurung (Praktisi Hukum)- Bagian Kedua
Perkara gugatan terhadap batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini, Senin (16/10-2023).
Dalam permohonannya kepada MK, PSI meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Permohonan ini dianggap politis karena PSI dan koalisi Prabowo Subianto disebut-sebut berniat mengusung Gibran Rakabuming (putra bungsu Joko Widodo) yang kini berusia 36 tahun. Masyarakat pun semakin curiga, mengingat Ketua MK Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang notabene presiden RI saat ini.
Sesungguhnya, MK bukan baru kali ini menerima gugatan menyangkut batas usia pejabat publik.
Setidaknya, sudah 7 (tujuh) gugatan batas usia yang diadili dan diputus oleh MK yang pada pokoknya menyatakan hakim konstitusi tidak berwenang mengubah syarat usia pejabat publik karena dalam pandangan mahkamah, persoalan batas usia untuk jabatan tertentu diletakkan dalam konteks kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang secara absolut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden sebagai pembentuk undang-undang.
Dalam putusan MK No.15/PUU-V/2007 yang menguji syarat usia calon kepala daerah, MK menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan pemerintahan.
Hal ini berarti , UUD 1945 menyerahkan penentuan batas usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Putusan No.7/PUU-XI/2013 tentang usia hakim konstitusi, MK menyatakan batas usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kwalifikasi jabatan tersebut.
Perkara yg terakhir, putusan No.58/PUU-XVII/2019 tentang pengujian ketentuan syarat usia untuk menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta calon bupati/walikota dan calon wakil bupati/wakil walikota.
Dalam putusan tsb, MK menyatakan bahwa Mahkamah kembali mengutip putusan MK No.15/PUU-V/2007 yang juga menguji syarat usia untuk menjadi kepala daerah.
Mahkamah menegaskan alasan yg sama bahwa UUD 1945 tidak memberikan ketentuan terkait usia minimum untuk jabatan-jabatan publik sehingga dapat dianggap bahwa konstitusi memberikan keleluasaan bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan syaratnya, termasuk usia minimal.
Lalu, bagaimana dengan putusan MK yang akan dibacakan hari ini ?
Hampir dapat dipastikan, MK tidak akan mengabulkan permohonan PSI tersebut dengan merujuk prinsip kebijakan hukum terbuka yang selama ini telah diterapkan oleh MK dalam tujuh perkara pengujian undang-undang.
Dalam kaitan dengan konsistensi sikap dan pendirian MK menerapkan prinsip hukum terbuka dalam tujuh gugatan batas usia secara berkesinambungan, pertanyaannya adalah apakah terdapat kebutuhan bagi MK untuk mengubah pendiriannya ?
Lagi-lagi, hampir dapat dipastikan tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya. ***