Oknum Polisi Menganiaya Wanita: Pelanggaran Hukum dan Penyalahgunaan Wewenang
Fahril (detaknews.id) – Palu, Sulteng – Baru-baru ini, publik digemparkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi (RM) yang tergabung dalam Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) terhadap seorang wanita (NM). Kejadian ini memicu sorotan dari berbagai pihak, mengingat status pelaku sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat.
Dari segi hukum, tindakan penganiayaan oleh oknum polisi merupakan pelanggaran serius terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penganiayaan diatur dalam Pasal 351 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Penganiayaan adalah perbuatan melakukan kekerasan terhadap orang lain, dengan maksud menimbulkan rasa sakit atau luka, baik sebenarnya maupun secara batin, meskipun tidak sampai terjadi luka”.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah:
- Adanya perbuatan
- Perbuatan tersebut dilakukan terhadap orang lain
- Perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud
- Maksudnya adalah untuk menimbulkan rasa sakit atau luka, baik sebenarnya maupun secara batin
- Luka tersebut tidak sampai mengakibatkan kematian
Dalam kasus penganiayaan oleh oknum polisi, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana berupa:
- Penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp4.500.000 (Pasal 351 ayat 1 KUHP).
- Penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000 jika penganiayaan dilakukan oleh dua orang atau lebih (Pasal 351 ayat 2 KUHP)
Selain sanksi pidana, oknum polisi yang melakukan penganiayaan juga dapat dikenakan sanksi etik dan disiplin oleh Polri. Sanksi etik dan disiplin tersebut dapat berupa:
- Penundaan kenaikan pangkat
- Penurunan pangkat
- Pemindahan ke jabatan lain yang lebih rendah
- Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH)
Kasus penganiayaan oleh oknum polisi tidak hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga merupakan penyalahgunaan wewenang. Oknum polisi seharusnya melindungi masyarakat, bukan malah menindas dan menyakiti mereka. Tindakan ini mencoreng nama baik institusi Polri dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, penting bagi Polri untuk menindak tegas oknum-oknum yang melakukan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang. Polri juga harus melakukan pembinaan dan pengawasan internal yang lebih ketat untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
Masyarakat juga perlu berani melaporkan tindakan penganiayaan oleh oknum polisi kepada pihak yang berwenang. Bukti-bukti yang kuat, seperti visum et repertum, rekaman CCTV, atau saksi mata, dapat membantu proses penegakan hukum.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada yang kebal hukum, termasuk oknum polisi. Penegakan hukum yang adil dan transparan harus ditegakkan untuk melindungi hak-hak korban dan keadilan bagi semua.***