Dilema Masyarakat Petani Kelurahan Petobo – Palu Sulteng Tak Kunjung Diberi Ruang Oleh Pemkot
Nelwan (detaknews.id) – Palu – Terkait janji pemeritah kota (Pemkot) Palu terdahulu yang akan membuka jalan Moh. Suharto dan perihal permintaan masyarakat Kelurahan Petobo, Palu Selatan tentang pengembalian atas hak kepemilikan dan fungsi lahan pertanian eks likuifaksi seluas 50 hektar yang disuarakan sejak 4 tahun lalu itu harus dikembalikan, tetapi hingga detik ini Pemkot tak kunjung menggubrisnya.
Diketahui lahan eks likuifaksi luasnya mencapai 180 hektar, selain itu lahan tersebut yang sebelumnya bekas pemukiman warga, sebagian besarnya areal itu juga dulunya adalah bagian dari lahan pertinian masyarakat setempat seperti Kebun, sawah dan empang (trenak ikan),ternak Sapi dan Kambing.
Dilaporkan, menurut sumber lahan eks likuifaksi dari 180 hektar yang kini masih terbengkalai itu, hak guna lahan tersebut plus hak kepemilikannya diklaim oleh pemkot untuk hak guna kelolah atau hak pengelolaan yang bersifat fiktif dan juga masih dalam pengawasan oleh Pemkot Palu dan pemerintah pusat RI.
Runut argumentasi pemkot kala itu ketika disambangi oleh warga Petobo beberapa kali dilakukan serangkaian konsolidasi oleh para tokoh masyarakat, ormas, beserta Lurah Petobo di balai kota Palu, setelahnya menurut petikan Wali Kota saat itu, “bahwa lahan tersebut bakal dialih fungsikan untuk wacana prembangunan taman ruang terbuka hijau (RTH)”.
Hal itu dituturkan Suharto M. Maila Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang juga selaku Ketua RW 6 Kelurahan Petobo Kota Palu pada detaknews.id, 80 persen warga petobo yang mayoritasnya adalah petani hingga kini masih menggatungkan kehidupan pencahariannya dengan bertani kebun, sawah, beternak sapi dan kambing serta beternak ikan air tawar di empang atau tambak.
“Untuk itu mayoritas warga Petobo sangat berharap dan meminta kepada Pemkot agar sekiranya mau mendengarkan atau menindaklanjuti keluh kesah (aspirasi) ini yang telah beberapa kali kami gaungkan”, ungkapnya.
“Dimana kala itu para tokoh masyarakat beserta Lurah Petobo telah beberapa kali melakukan mediasi dan mengkonsolidasikan hal itu terhadap pemkot Palu, tetapi mirisnya mediasi tersebut tak kunjung mendapatkan titik terang dari Pemkot terdahulu,” keluh Suharto.
Lebih lanjut, Ketua Gapoktan menguraikan, dengan adanya inisiatif beberapa orang warga, sekitar 3 hektar lahan pertanian di areal likuifaksi saat ini mulai dimanfaatkan bakal difungsikan untuk tanaman Palawija berupa tanaman jagung dan tanaman padi.
“Mumpung sekarang air irigasi Gumbasa sedari awal Desember tahun 2024 kemarin mulai mengaliri areal tersebut. Hal itulah yang mendorong harapan dan semangat mayoritas masyarakat petani yang ada di Petobo”, tuturnya.
Dilema Zonasi dan Hak Legalitas Lahan Eks Likuefaksi
Selaku yang mewakili suara masyarakat petani secara keseluruhan, dirinya menyerukan, agar kiranya Pemkot Palu jangan menutup mata dengan ketimpangan dan bersikap apatis terhadap keterpurukan ekonomi di kelurahan Petobo ini.
“Karena seluruh masyarakat petani di Kelurahan Petobo ini sangat mengharapkan dukungan dan dorongan Pemkot Palu untuk kembali memberikan hak atas areal likuifaksi itu, dimana oleh freming BMKG telah memplot areal tersebut berstatus titik koordinat ambang batas zonasi atau areal garis zona merah”, pungkasnya.
Ditambahkan Suharto, areal tesebut merupakan harapan penghidupan seluruh masyarakat petani, dan status kepemilikan, juga hak garap lahan 50 hektar itu.
Pihak Masyarakat Petani sangat berharap agar Pemkot mengembalikannya dan jangan ada intrik mempolitisasi masyarakat petani dengan propaganda, bahwa satus areal seluas 180 hektar itu, “boleh digarap namun hak guna pakai masyrakat hanya sebatas hak pengelolaan sementara” seperti itulah petikan Pemkot ketika beberapa kali delegasi tokoh masyarakat yang berkompoten Petobo menyuarakan hal itu.
“Artinya, kapanpun jika pemerintah mengambil alih lahan itu, terkait tujuan kempentigan lain atau prasarana infrastruktur, RTH dll, sama halnya pemerintah telah merampas hak atas tanah milik masyarakat, terkhusus masyarakat petani Petobo”, tukasnya.
Harapan Pemulihan Ekonomi Petani Petobo
Alvin H. Lajuni, Lurah Petobo, menyatakan bahwa tuntutan warga untuk membuka kembali lahan eks likuefaksi ini sangat berdampak pada kesejahteraan ekonomi masyarakat Petobo.
“Dengan jumlah penduduk saat ini yang mencapai 12.288 jiwa, sekitar 80 persen dari mereka menggantungkan hidupnya dari pertanian”, paparnya.
Menurut Alvin, jika lahan ini dikembalikan untuk pertanian, masyarakat Petobo dapat diberdayakan melalui metode pertanian modern. Hal ini akan meningkatkan taraf hidup mereka dan membawa manfaat ekonomi yang signifikan.
“Upaya untuk menghidupkan kembali lahan ini diharapkan dapat memberikan manfaat besar bagi warga yang selama ini terpuruk akibat hilangnya mata pencaharian mereka. Selain itu, roda ekonomi di wilayah Petobo akan kembali berputar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, ujar Alvin.
Alvin juga menambahkan bahwa Pemkot Palu perlu memberikan perhatian khusus terhadap lahan eks likuefaksi ini, mengingat pentingnya bagi para petani untuk kembali bekerja dan mengembangkan lahan produktif yang sebelumnya menjadi sumber utama penghidupan mereka.
Permohonan Warga Petobo pada Pemkot Palu
Sebagai bentuk dukungan terhadap aspirasi warga, Lurah Petobo berjanji akan terus mengawal aspirasi masyarakat dan mendorong Pemkot Palu untuk mempertimbangkan izin pemanfaatan lahan eks likuefaksi tersebut. Dengan berjalannya program pertanian modern, seperti pemanfaatan lahan sawah dan penanaman pohon produktif, warga diharapkan bisa kembali bekerja dan mencapai kemandirian ekonomi.
“Bila lahan pertanian ini dihidupkan kembali, ekonomi warga akan pulih secara bertahap, dan mereka tidak lagi harus menghadapi keterpurukan seperti saat ini. Harapannya, Pemkot Palu bisa mendengarkan jeritan hati dan keluhan masyarakat Petobo yang sangat membutuhkan dukungan”, pungkas Alvin.***