OpiniUtama

MONEY LAUNDERING

Oleh Frans Manurung

 

Senin sore (06/03-2023), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan status perkara pegawai pajak, Rafael Alun Trisambodo dari Klarifikasi ke tahap Penyelidikan.

Penetapan tsb berdasarkan data LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara) yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Rafael Alun Trisambodo bersama pihak lain.

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah suatu tindak pidana lanjutan (follow up crime) dari tindak pidana asal (predicate crime), sebagai upaya menyembunyikan atau menghilangkan jejak sedemikian rupa sehingga asal-usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, tidak dapat diketahui lagi.

Sedangkan tindak pidana asal (predicate crime) adalah tindak pidana yg menghasilkan uang “kotor” (dirty money) yang kemudian “dibersihkan” melalui proses pencucian uang sehingga tampak seolah-olah kekayaan yang sah.

Salah satu indikator dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh Rafael adalah jumlah harta kekayaannya dalam LHKPN 2021 sebesar Rp. 56,1 miliar melonjak tinggi tidak sebanding dengan profil pendapatan dalam jabatan, dan golongan atau pangkatnya selaku pegawai negeri sipil. Harta kekayaan tersebut tampak “bersih” seolah-olah kekayaan yang diperoleh secara sah.

Namun, tuduhan pencucian uang terhadap Rafael, tidak bisa tidak, harus didahului dengan pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) yg merupakan penghasil “dirty money” bagi Rafael.

Sebab, tidak mungkin Rafael bisa dituduh melakukan TPPU, jika tidak bisa dibuktikan profil tindak pidana asal , yang dilakukan sebelumnya yaitu tindak pidana korupsi (suap, gratifikasi dll)

UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menganut asas beban pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast) secara terbatas.

Pasal 77 UU TPPU menetapkan, untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Penerapan metode pembuktian terbalik merujuk pada pembuktian tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU . Artinya, dalam pemeriksaan di pengadilan Rafael wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya senilai Rp.56,1 miliar, bukan dari tindak pidana korupsi.

Jika dia tidak bisa membuktikan hal itu, maka hakim akan menyatakan dia terbukti melakukan TPPU dan memerintahkan harta kekayaannya disita untuk negara.

Dalam perkara TPPU terdakwa Bahasyim Assifiie, mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Jakarta pada 2005, majelis hakim menerapkan asas pembuktian terbalik yaitu mewajibkan terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya Rp.61 miliar, bukan hasil tindak pidana.

Majelis hakim meragukan penjelasan terdakwa mengenai asal usul harta kekayaannya, lalu memerintahkan harta kekayaan terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi senilai Rp.61 miliar dan 681.153 dolar AS, disita untuk negara (ICW : 2011).

Kasus LHKPN “gendut” Rafael dan beberapa LHKPN “gendut” lainnya di Kementerian Keuangan, perlu mendapat perhatian serius dari KPK dan PPATK.

Penegakan hukum yang tidak menyeluruh dan tuntas dapat berakibat kepercayaan masyarakat terhadap Kementerian Keuangan menurun dan berakibat pembangkangan sipil yang berpotensi mengganggu penerimaan pajak negara. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *