DaerahHukumKriminal

Soal PT.MDA, Begini Tanggapan Korlap KRB Luwu

Ilong (detaknews.id) – Luwu – Berkaitan dengan adanya aksi demo di Desa Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan di Kantor DPRD Luwu menuai kontroversi dan kekecewaan.

Dimana masyarakat Desa Rante Balla menuntut janji PT MDA yang hingga kini, dinilai janji tinggal janji. Bahkan dalam aksi itu, warga Rante Balla tidak segan-segan menutup akses jalan utama yang di lalui kendaran Roda Empat milik Perusahaan yang berlatar tambang emas itu pada hari Kamis, (01/09/2022) belum lama ini.

Warga juga mempersoalkan limbah yang di buang ke sungai, adapun proses penutupan jalan diwarnai dengan aksi membakar ban dan mendirikan tenda terpal di badan jalan.

Koordinator Aksi (KOORLAP) Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) Luwu, Zainuddin Bundu sapaan akrab Ajis Portal saat dimintai tanggapannya oleh awak media di salah satu warung kopi di seputaran Belopa menanggapi bahwa.

“Kami tidak perlu heran, kenapa tuntutan kami saja di Kandangkan oleh pihak Legislatif dan Eksekutif. Karena mereka takut dan tak mampu menghadirkan Presiden Direktur PT MDA yang Lama atau yang Baru, (Yakni, Boyke atau Abidin Tompo) sebagai penanggungjawab utama perusahaan dan persoalan ini di tengah tengah masyarakat,” ungkap Ajis Portal.

Ajis Portal juga menerangkan bahwa Karena pihak PT MDA menghindari adanya pertanyaan-pertanyaan dari mereka, seperti status kedudukan dan syarat perijinan yang kurang lebih bercokol di gunung Latimojong selama 40 tahun silam. 2 dari 7 tuntutan yang mereka uraikan pun dalam status kedudukan dan perijinan perusahan itu diatur dalam Undang-Undang terbaru Nomor 3 Tahun 2020 pasal 1, Angka 6 dan 6a, hingga kini belum terjawab.

“Karena jenis usahanya harus jelas, dan tidak boleh main langkah-langkah syarat dan aturan,” tutur Ajis Portal yang lantang menyoalkan keberadaan PT MDA.

Pasalnya ungkap Ajis, Seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), Jenis Usaha, dan syarat maupun proses perijinan serta cara kerjanya perusahaan tersebut seperti apa, itu juga yang membuat mereka bingung apakah hanya Ma BOR, Pengerukan atau Mendulang.

“Karena yang setahu kami Kontrak Karya berdasarkan Undang-Undang lama No 4 tahun 2009 tentang Minerba itu, meski diberi waktu hingga 50 tahun, namun ada tahapan evaluasi kinerja yang dibatasi Pemerintah Pusat dalam kontrak karya,” pungkasnya.

“Mulai tahapannya dari 15 sampai dengan 20 tahun, seperti apa hasil dan kontribusinya kepada pemerintah pusat maupun daerah harus lah jelas,” tandasnya.

Tak hanya itu, Ajis juga menuturkan jika mereka melihat perusahaan tersebut apakah memiliki Studi Kelayakan atau Feasibility Study, mulai dari Aspek Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, dan Aspek Hukumnya juga nampak tak jelas.

“Apakah perusahaan tersebut, benar-benar bisa berjalan dan memenuhi semua itu seperti yang diharapkan undang-undang ? dan terlebih lagi kami masyarakat Kabupaten Luwu,” tuturnya.

“Karena perusahaan tersebut, hanya bisa  mengambilan sampel doang (Eksplorasi) maupun berganti kulit kerjanya kalau ada pemeriksaan. Makanya perusahaan tersebut sempat ditegur dan disuruh mengkaji kembali RKABnya oleh Dirjen Minerba pada bulan Mei 2021 lalu,” imbuhnya.

“Karena setiap bangunan yang di bangun diatas tanah negara ini, seperti rencana kegiatan dan, rencana anggaran belanjanya harus jelas dan di dukung oleh gambarnya,” tegasnya.

“Itu harus dilakukan, agar tak terjadi salah bestek atau pengurangan volume pekerjaan. Bukan kita tidak percaya, tapi perusahaan tersebut lah yang membuat kami masyarakat bertanya-tanya,” akunya.

Menurut Ajis, Bagaimana bisa perusahaan tersebut dapat memberikan aktivitas yang baik kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat Latimojong dan kabupaten luwu ketika Studi kelayakan atau feasibility study secara teknik analisis yang digunakan investor untuk menilai kualitas dari sebuah usulan atau rencana proyek tujuan dari perusahaan tersebut nampak tak jelas.

“Terlebih lagi mengenai dampak lingkungan (Dokumen AMDAL), kan semua itu harus jelas dan transparan ke publik,” ucapnya.

“Karena ini persoalan keselamatan, kemakmuran, keadilan dan nyawa masyarakat. jika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, Contohnya yang seringan terjadi di wilayah kabupaten Luwu Utara, Palopo, dan Luwu itu sendiri menjadi daerah langganan banjir dan longsor. Dan semoga kita tidak menjadi negeri terapung,” tuturnya.

Selain itu, Ajis juga menambahkan pikirannya bahwa yang membuat mereka kebingungan, kami dari Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) Luwu kepada para legislatif di rumah rakyat yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana penerapan UU nomor 17 tahun 2014 tentang DPR. Dimana para anggota DPRD wajib menjalankan 3 fungsi utamanya sebagai Keterwakilannya  di rumah rakyat.

“Harusnya DPRD bukan mengurusi, pembebasan lahan atau ketenagakerjaan, sebab itu adalah kewajiban perusahaan dan OPD terkait, bukan kewajiban DPRD,” tegasnya.

“Diminta atau tidak diminta itu wajib karena tugas perusahaan dan OPD (Dinas) yang menangani ketenaga kerjaan dan Pertanahan, jika kita merujuk pada UU dan aturan lahan (Kawasan) yang berada di Kecamatan Latimojong,” tandasnya.

“Itu masih merupakan Kawasan Hutan Lindung, Garapan (Tanah Negara), yang bisa digali, kelolah, ditinggali namun tak bisa di perdagangkan (Dijual), kecuali tanaman yang di kelolah warga, namun status hak Kedudukannya haruslah jelas, agar tidak terkesan sembrono atau timpang tindih,” ucapnya.

“Sebab disana, statusnya masih tidak jelas alias abu-abu siapa yang punya tanah dan siapa yang punya lahan, dan tanaman,” tuturnya.

Menurut Ajis, Kenapa hal ini harus di perjelas dan diterangkan?, agar tidak ada yang salah kaprah. Bukan malah berbicara turun-temurun,

“Kan ada aturan hak Ulayat yang mengatur dan bagaimana proses untuk mendapatkan hak ulayat itu, makanya kami minta distopkan dulu aktifitas perusahaan tersebut, agar tak terjadi hal yang tak diinginkan,” ujarnya.

Ajis juga menjabarkan, Apalagi kalau berbicara soal aspirasi dan program kerja eksekutif. Harus juga diperjelas, agar masyarakat tahu, mana aspirasi yang menjadi keterwakilan dari perwakilan rakyat dan program kerja eksekutif, baik dari Dana APBN, APBD, DAU, DAK dan HIBAH.

“Karena jika diperhatikan selama ini, biar program pemerintah yang dibuat dalam bentuk rencana kerja OPD juga disebut Aspirasi, karena banyak aspirasi masyarakat yang dibahas di tingkat kecamatan, kelurahan dan desa. Itupun tak tersalur lewat program kerja OPD itu sendiri (tidak transparan),” pungkasnya.

“Jadi kita masyarakat bertambah bingung yang mana Aspirasi Anggota DPRD, Karena kalau sudah melalui lelang bukan aspirasi lagi namanya,” Kunci Zainuddin Bundu sapaan akrab Ajis Portal, pria kelahiran Sorong, Papua Barat ini.***

Sumber : Pers Realese

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *